1.
Pengertian
Motivasi
Motif berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak atau
bahasa Inggrisnya to move. Motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam
diri organisme yang mendorong untuk berbuat (driving force). Motif tidak
berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dengan faktor-faktor lain, baik faktor
eksternal (misalnya ingin belajar dengan baik agar mendapatkan lapangan
pekerjaan dengan gaji yang baik), maupun faktor internal (lapar ingin makan,
harus ingin minum). Hal-hal yang mempengaruhi motif disebut motivasi .
Jadi motivasi adalah keadaan dalam diri individu atau organisme
yang mendorong perilaku ke arah tujuan (Walgito, 2004 : 220). Sedang menurut
Plotnik (2005:328), motivasi mengacu pada berbagai faktor fisiologi dan
psikologi yang menyebabkan seseorang melakukan aktivitas dengan cara yang
spesifik pada waktu tertentu.
2.
Teori
- teori Motivasi
1.
Drive Reinforcement
Ketika
suatu keadaan dorongan internal muncul,individu didorong untuk mengaturnya
dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan
yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi
keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Implikasinya sering
terjadi dalam bidang industri dan organisasi .
Contoh :
Reward
Seorang Sales Promotion Girl (SPG) di salah satu hyper market di kawasan
Jakarta yang pada awalnya mendapat posisi menjadi SPG, sekarang ia menduduki
jabatan sebagai administrasi untuk sebuah produk yang ia kerjakan. Hal tersebut
dikarenakan semasa ia menjadi SPG, ia berhasil memenuhi target yang dicapai
bahkan mungkin, ia menjadi salah satu SPG yang dapat melebihi target di setiap minggunya. Berdasarkan contoh diatas, hal
tersebut termasuk kedalam teori motivasi yaitu drive reinforcement yang lebih
spesifik lagi termasuk kedalam reward. Yakni jika SPG tersebut dapat memenuhi
atau melebihi target, maka ia dijanjikan akan naik jabatan.
Contoh :
Punishment
Punishment merupakan hukuman yang diberikan agar seseorang termotivasi kembali
untuk melakukan suatu hal. Misalnya ; pada contoh kasus Sales Promotion Girl
(SPG) yang telah diuraikan diatas, Jika SPG tersebut terlambat masuk kantor
pada jam yang sudah ditentukan selama 3x dalam kurun waktu 1 bulan maka akan
dikenakan pemotongan upah kerja (Gaji) sebesar 0,5% dari gaji pokok. Dari
contoh diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang bisa termotivasi kembali untuk
melakukan hal yang lebih baik setelah diberikan punishment ketika melakukan
suatu kesalahan.
2.
Teori
Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H.
Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu
teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi
merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan
yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan
berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh
sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk
memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal
yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para
praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik
tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para
pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara
yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap
penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu
mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk
memperolehnya .
Contoh :
Implikasi praktis dari teori di atas yaitu; dalam kasus Sales
Promotion Girl (SPG) misalnya, ketika SPG tersebut menginginkan kenaikan
jabatan yang juga disertai dengan peluang yang besar untuk kenaikan jabatan
maka SPG tersebut akan berusaha semaksimal mungkin tetapi jika harapan untuk
mencapai kenaikan jabatan itu rendah (kemungkinannya kecil) maka SPG tersebut
akan bermalas-malasan dalam mencapai keinginannya. Disinilah teori motivasi
harapan sangat berperan besar dalam mencapai suatu tujuan organisasi.
3.
Teori
penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke
mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan
mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d)
tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan
berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
Contoh : Cara
yang paling sederhana dan terbaik untuk memotivasi karyawan hanyalah dengan
memastikan bahwa karyawan memiliki tujuan yang memungkinkan untuk dicapai dan
mereka setuju dengan tujuan tersebut. Pendekatan ini dikenal dengan teori
penetapan tujuan (goal setting – theory) yang dipopulerkan oleh Edwind Locke.
Ia menyatakan bahwa niat untuk mencapai tujuan merupakan sumber utama dari
motivasi. Artinya, tujuan memberi tahu seorang karyawan apa yang harus
dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dikeluarkan. Dapat dikatakan bahwa
tujuan khusus meningkatkan kinerja, tujuan yang sulit ketika diterima,
menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang mudah, dan umpan
balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dari umpan balik (Robbins dan
Judge, 2007).
4.
Teori
Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow
Menurut Maslow
ada 5 jenis kebutuhan manusia yang tersusun secara bertingkat sebagai sesuatu
hierarki, yaitu :
1.
Tingkat
1 : Kebutuhan-kebutuhan fisik, misalnya : makan, air, seks dan tidur.”
Physiological needs: food, water, sex and sleep”.
2.
Tingkat
2 : Kebutuhan akan kesamaan, misalnya : perlindungan dari kejahatan “Safety
needs protection from harm”.
3.
Tingkat
3 : Kebutuhan akan rasa cinta dan diterima, misalnya : Affiliasi dengan
individu-individu lain, dan diterima oleh individu-individu lain “love and
belonging needs: Affiliation with others and acceptance by others”.
4.
Tingkat
4 : Kebutuhan akan penghargaan, misalnya : prestasi, kompetensi, memperoleh
pemgakuan dan penghargaan “Esteem needs: Achievement, competency, gaining approval
and recognitions”.
5. Tingkat
5 : Aktualisasi Diri : pemenuhan potensi keunikan seseorang. “Fulillment of
one’s unique potential”. (Plotnik, 2005 : 333)
ARTIKEL MOTIVASI
Kisah
Paling Sedih Yang Memotivasi – Berikut kisah atau cerita sedih yang dapat
memotivasi Anda dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Kisah mengharukan
atau kisah sedih ini tentang perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah
mencintai suaminya selama 10 tahun perjalanan pernikahannya hingga sang Suami
meninggal dunia, dan akhirnya ia menyadari betapa besar cinta dan kasih sayang
yang diberikan sang suami untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh
tahun untuk membenci suaminya, tetapi setelah Suaminya tiada Ia menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupnya untuk mencintai sang Suami.
Aku
membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang
kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun
menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa
melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka,
suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika
menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena
aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku
telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.
Di
rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada
sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang
basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok
sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci
ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau
ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia
menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan
teman-temanku.
Tadinya
aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau
mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya
ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum
pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah
kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung
sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama
kedua anak kami.
Waktu
berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti
pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi
dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu
ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat
itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa
terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum
ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi
hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan
pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika
mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon
adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon
aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya
aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian
terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa
yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan
bertanya.
“Maaf
sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka
kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah
aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan
marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai
bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal,
akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang,
aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang
sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan
datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan
turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit
berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku
mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku
diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi
keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa
saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu.
Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki
asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami
kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu
aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang
dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga
wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah
bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu
seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa
menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar
seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan
kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua
orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak
yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak
mampu membuatku menangis.
Ketika
jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah
itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah
dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu
dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku
terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang
suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur
prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya
terakhir kali kami berbicara.
Aku
teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak
pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung
dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu
apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang
ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah
penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku
tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak
untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli
dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya
kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih
dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat
pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya
hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai
terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi
rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari
yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari
awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan
ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa
handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah
ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia
yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan
sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap
malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun
dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu
aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku
bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal
karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar
tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih
tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas
piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun
tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari
bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku
juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku
agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada
Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena
telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah
yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.
Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan
batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat
puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa
bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli,
yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah
bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja
atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh
dia.
Kebingunganku
terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak,
ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata
apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku
Liliana tersayang,
Maaf
karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak
bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu
singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu.
Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit
demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya
untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya
sayang.
Jangan
menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang
terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk
Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah
istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan
Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku
terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah
menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris
memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan
deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha
dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku
tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari
hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu
persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini
kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi
seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus
bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa
nyuci, gimana ya bu?”
Aku
merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan
hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena
cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima
kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku
menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap
setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku
menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu
dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah
yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku
mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian,
tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Sumber :
Basuki, A.M.
Heru . 2008. Psikologi Umum . Jakarta : Universitas Gunadarma