TERAPI PERILAKU (Behavior
Therapy)
Terapi
tingkah laku dalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada
berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang
sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah
cara-cara yang lebih adaptif. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah
laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan
psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Pada dasarrnya,
terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru,
pengapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan
tingkah laku yang diinginkan.
Tujuan
dan Peran terapis
Terapis
tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian
treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan
pada masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapis tingkah laku secara khas
berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mengdiagnosis tingkah laku
yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang
diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru. Krasner (1967) menunjukkan
bahwa peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan
pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu
situasi perkuatan social.
·
Ciri-ciri
unik terapi tingkah laku
Terapi
tingkah laku, berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, ditandai
oleh (a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b)
kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment, (c) perumusan prosedur
treatmen yang spesifik yang sesuai dengan masalah, dan (d) penaksiran objektif
atas hasil-hasil terapi.
1. Pengondisian
klasik versus pengondisian operan
Dua
aliran utama membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan terapi
yang berlandaskan teori belajar, pengondisian klasik dan pengondisian operan.
Pengondisian klasik, atau disebut pengondisian responden, berasal dari karya
Pavlov. Pada dasarnya pengondisian klasik melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS) yang secara otomatis membangkitkan
respons berkondisi (CR), yang sama
dengan respons tak berkondisi (UCR)
apabila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi. Jika UCS dipasangkan
dengan suatu stimulus berkondisi (CS),
lambat laun CS mengarahkan kemunculan CR.
Pengondisian
operan, satu aliran utama lainnya dari pendekatan terapi yang berlandaskan
teori belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan
tingkah lakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul.
Pengondisian operan ini dikenal juga dengan sebutan pengondisian instrumental
karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh
organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut.
Skinner mengembangkan prinsip-prinsip perkuatan yang digunakan pada upaya
memperoleh pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari. Dalam pengondisian
operan, pemberian perkuatan positif bisa memperkuat tingkah laku, sedangkan
pemberian perkuatan negatif bisa memperlemah tingkah laku.
Proses
kondisioning (operant conditioning)
tidak jauh berbeda dari kondisioning klasik (clasic conditioning) Pavlov. Keduanya terdapat stimulus dan respons
tak terkondisi serta stimulus dan respon terkondisi. Tetapi dalam percobaan
pavlov anjing mengeluarkan air liur dalam kondisi pasif, sedangkan dalam
percobaan Skinner tikus aktif mengubah situasi dengan menekan tombol demi tercapainya
kebutuhan yaitu makanan. Menurut Skinner terdapat dua prinsip umum yang
berkaitan dengan kondisioning operan, yaitu :
Setiap
respons yang diikuti oleh reward →ini bekerja sebagai reinforcement stimuli →
akan cenderung diulangi.
Reward
atau reinforcement stimuli akan meningkatkan kecepatan (rate) terjadinya respons.
2. Teori
Modeling Bandura
Menurut
Albert Bandura, proses belajar terjadi melalui peniruan (imitation) terhadap perilaku
orang lain yang dilihat atau diobservasi oleh seorang anak. Kita belajar dengan
mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Anak melihat perilaku orang lain
dan kemudian mengadopsi perilaku tersebut. Untuk membuktikan hal tersebut,
Bandura (1965) melakukan sebuah penelitian terhadap sejumlah anak pra-sekolah
yang dibagi atas tiga kelompok. Kepada anak-anak itu diperlihatkan sebuah film
yang di dalamnya anak dapat mengobservasi seorang dewasa yang berperilaku
agresif terhadap sebuah boneka yang diberi nama Bobo Doll. Kelompok pertama
diperlihatkan sebuah film yang di dalamnya si model masuk ke dalam sebuah
ruangan dan memukuli secara agresif Bobo Doll. Kemudia dia diberi hadiah berupa
permen dan minuman botol karena perilakunya tersebut. Pada kelompok kedua
diputarkan sebuah film yang di dalamnya si model masuk sebuah ruangan, kemudia
memukuli Bobo Doll, tetapi kemudian si model dikritik dan diberi hukuman karena
tindakan agresifnya tersebut. Pada kelompok ketiga diputarkan sebuah film yang
memperlihatkan si model masuk dalam sebuah ruangan yang didalamnya terdapat ruangan
boneka Bobo Doll dan yang kemudian dipukulinya secara agresif. Pada akhir film
si model tidak diberi hukuman dan tidak juga mendapat hadiah. Artinya, tidak
ada konsekuensi apa-apa terhadap perilaku agresifnya tersebut.
Selanjutnya,
anak-anak dari ketiga kelompok yang menonton film berbeda dibicarakan sendirian
dalam sebuah ruangan yang berisi banyak alat mainan, termasuk boneka Bobo Doll.
Perilaku anak di observasi melalui jendela dengan kaca satu arah. Ternyata,
anak-anak yang menonton film yang didalamnya perilaku aggressor mendapat hadiah
(kelompok pertama) atau tidak mendapat hadian (kelompok tiga) secara spontan
meniru perilaku model (aggressor). Mereka memukuli Bobo Doll itu secara
agresif. Jumlah anak yang meniru tingkah laku model lebih banyak di kedua
kelompok inidibandingkan dengan mereka yang menyaksikan film yang didalamnya si
model mendapat hukuman (kelompok dua).
Dari
penelitian Bandura tersebut dapat disimpulkan belajar melalui observasi dapat
terjadi hanya dengan menonton model nya saja dan melalui observasi tersebut
seorang anak dapat belajar berperilaku. Mungkin anak tidak langsung memberikan
respon (perilaku) yang langsung dapat diobservasi, tetapi anak menyimpan apa
yang diobservasinya tersebut dalam bentuk kognitifnya (cognitive form), bentuk kognitif ini tetap aktif dalam diri anak
dan pada saat anak berada pada situasi atau kondisi yang serupa, secara spontan
cognitive form tadi turut serta
menentukan perilaku si anak dalam kondisi tersebut. Hal ini lah yang
menyebabkan sifat-sifat dan reaksi-reaksi emosional seorang anak menyerupai
reaksi emosional kedua orang tuanya. Nenk moyang kita telah menyadari hal ini
secara intuitif ketika mereka merumuskan adagium, “buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya”.
Perilaku
model yang telah diobservasi anak melalui tayangan TV, video-video (VCD/DVD),
atau video game dapat menjadi bahan cognitive form si anak. Model perilaku cognitive form tersebut menjadi bahan
referensi bawah sadar, yang apabila anak bertemu dnegan situasi yang serupa
kelak akan memberikan respon seperti dia telah melihat bagaimana modelnya
memberi respon.
3.
Teknik-teknik
utama terapi tingkah laku
1. Desensitisasi
sistematik
Desensitisasi
sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi
tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau
respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu.
Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respon yang
tidak konsisten dengan kecemasan.
Desensitisasi
sistematik juga melibatkan teknik – teknik relaksasi. Klien dilatih untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman
pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau divisualisasi.
Prosedur
model pengondisian balik ini adalah sebagai berikut :
Desensitisasi
sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus
yang bisa membangkitkan kecemasan pada suatu wilayah tertentu seperti penolakan,
rasa iri, ketidaksetujuan, atau suatu fobia. Disediakan waktu untuk menyusun
suatu tingkatan kecemasan-kecemasan klien dalam wilayah tertentu. Terapis
menyusun suatu daftar bertingkat mengenai situasi-situasi yang kemunculannya
meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan dirancang dalam
urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh klien
kesituasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
Selama
pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang
terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengunduran otot-otot yang berbeda
sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai,
klien diberitahu tentang cara relaksasi yang digunakan dalam desensitisasi,
cara menggunakan relaksasi itu dalam kehidupan sehati-hari, dan cara
mengendurkan bagian-bagian tubuh tertentu. Pemikiran dan pembayangan
situasi-situasi yang membuat santai seperti duduk dipinggir danau atau
berjalan-jalan ditaman yang indah, sering digunakan. Hal yang penting adalah
bahwa klien mencapai keadaan tenang dan damai. Klien diminta untuk
mempraktekkan relaksasi diluar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya
setiap hari. Apabila klien telah bisa belajar untuk santai dengan cepat, maka
prosedur desensitisasi bisa dimulai.
Proses desensitisasi melibatkan keadaan dimana
kien sepenuhnya santai dengan mata tertutup. Terapis menceritakan serangkaian
ituasi dan meminta klien untuk membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi
yang diceritakan oleh terapis itu. Situai yang netral diungkapkan dan klien
diminta untuk membayangkan dirinya berada di dalamnya. Terapis bergerak
mngungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai klien menunjukan bahwa
dia mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi diakhiri.
Treatment dianggap selesai apabila klien mampu untuk tetap santai ketika
membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan
kecemasan.
2. Terapi implosif daan pembanjiran
Teknik-teknik
pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik
ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa
pemberian perkuatan. Stampfl (1975)
mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran yang disebut
“terapi implosif” seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, terapi
implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran
terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan.
Stampfl
(1975) mencatat beberapa contoh bagaimana terapi implosif berlangsung.
Prosedur-prosedur penanganan klien mencakup :
a. Pencarian
stimulus-stimulus yang memicu gejala-gejala
b. Menaksir
bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala itu membentuk
tingkah laku klien
c. Meminta
kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya tanpa
disertai celan atas kepantasan situasi yang dihadapinya
d. Bergerak
semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien dan meminta
kepadanya untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya
e. Mengulang
prosedur-prosedur tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien
3. Latihan asertif
Latihan
asertif akan membantu bagi orang-orang yang :
a. Tidak
mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung
b. Menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya
c. Memiliki
kesulitan untuk mengatakn “tidak”
d. Mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya
e. Merasa
tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri
Shaffer
dan Galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif
atau “latiham ekspresif” dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas delapan
sampai sepuluh anggota memiliki latar belakang yang sama, dan session terapi
berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan
pengarah permainan peran, pelatih, pemberi perkuatan, dan sebagai model peran.
Dalam diskusi-diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai seorang ahli,
memberikan bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan
umpan balik kepada para anggota.
4. Terapi Aversi
Teknik-teknik
aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para
behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa
orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Sebagian besar lembaga sosial menggunakan
prosedur-prosedur aversif untuk mengendalikan para anggotanya dan untuk
membentuk tingkah laku individu agar sesuai dengan yang telah digariskan:
perusahaan-perusahaan menggunakan pemecatan dan penangguhan pembayaran upah,
sedangkan pemerintah menggunakan denda dan hukuman penjara.
5.Pengondisian
operan
Tingkah
laku operan merupakan tingkah laku yang paling bearti dalam kehidupan
sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan
alat-alat makan, bermain, dan sebagainya. Prinsip perkuatan yang menerangkan
pembentukan, pemeliharaan atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan
inti dari pengondisian operan. Berikut ini uraian ringkas dari metode-metode
pengondisian operan yang mencakup :
1. Perkuatan Positif
Pembentukan
suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setlah
tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah
tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat baik primer (memuaskan kebutuhan-kebutuhan
fisiologis) maupun sekunder (memuaskan kebutuhan–kebutuhan psikologis dan
social), diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Contoh pemerkuat
primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Contoh pemerkuat sekunder
adalah yang bisa
menjadi alat yang ampuh untuk membentuk tingkah laku yang diharapkan antara
lain adalah senyuman, pujian, uang dan hadiah-hadiah. Penerapan pemberian
perkuatan positif pada psikoterapi membutuhkan spesifikasi tingkah laku yang
diharapkan, penemuan tentang apa agen yang memperkuat bagi individu dan
penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku
yang diingkan.
2. Pembentukan Respon
Dalam
pembentukan respon, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan
memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara
berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respon berwujud
pengemabangan suatu respon yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan
tingkah laku individu.
3. Perkuatan Intermiten
Perkuatan
intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik.
Tingkah laku dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan
terhadap pengahpusan disbanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui
pemberian perkuatan yang terus-menerus.
4. Penghapusan
Terapis,
guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam
mengahpus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku
yang tidak diinginkan itu pada mulanya bias menjadi lebih buruk sebelum
akhirnya terhapus atau dikurangi.
5. Pencontohan
Dalam
pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yang
bias diperoleh melalui pengalaman langsung bias pula diperoleh secara tidak
langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut
konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan social tertentu bias
diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada.
6. Token Economy
Metode
token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuari
dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bias diraba lainnya tidak memberikan
pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bias diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bias diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang
nantinya bias ditukar dengan objek-obejk atau hak istimewa yang diingini.
Metode token economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata,
misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan
tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki
beberapa keuntunga, yaitu : 1. Tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya, 2.
Tanda-tanda bisa
mengurangi penundaan yang ada diantara tingkah laku yang layak dengan
ganjarannya, 3. Tanda-tanda bias digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi
motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, 4. Tanda-tanda adalah
bentuk perkuatan yang positif, 5. Individu memiliki kesempatan untuk memutuskan
bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, 6. Tanda-tanda cenderung
menjembatani kesenjangan yang sering muncul diantara lembaga dan kehidupan
sehari-hari.
CONTOH KASUS :
Contoh
Kasus Teknik Perkuatan Intermiten
-
Seorang anak yang
diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya,
memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi
kegagalan dibanding dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-sekali.
Contoh
Kasus Teknik Penghapusan
-
Jika seorang anak
menunjukkan kebandelan di rumah dan di sekolah, orang tua dan guru si anak bisa
menghindari pemberian perhatian sebagai cara untuk menghapus kebandelan anak
tersebut. Pada saat yang sama perkuatan positif bisa diberikan kepada si anak
agar belajar tingkah laku yang diinginkan.
-
Contohnya, seorang anak
yang telah belajar bahwa dia dengan mengomel biasanya memperoleh apa yang
diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak
segera dipenuhi. Jadi, kesabaran mengahadapi periode peralihan sangan
diperlukan.
Contoh
Kasus Teknik Modelling
-
Menurut Bandura,
sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun
penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Dalam hal ini orang tua dan guru
memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak – anak
untuk menirukan tingkah laku membaca.
-
Seorang pelajar melihat
temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian
meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya.
-
Berdasarkan teori ini
terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru
membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru
secara langsung.
-
Contohnya anak-anak
meniru tingkah laku bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan
contoh perilaku di lapangan.
Kelompok 7 : 3PA08
NUR AZIZAH 15511293
YUSUF ADITYA DARMA S 18511281
Sumber :
Corey, G. Teori dan praktek konseling
dan psikoterapi. Terjemahan : E. Koeswara. Bandung : PT. Eresco
Gunarsa, Singgih D. 2004. Bunga Rampai
Psikologi Perkembangan dari Anak sampai Usia Lanjut. Jakarta : SDG
Basuki, Heru A.M. 2008. Psikologi Umum.
Jakarta : Universitas Gunadarma